lcRoHgqPZjWs3J6831YqB9z8W93RGUPK8UWFVz3x
Bookmark

CARA BERFIKIR FILSAFAT


Ciri-ciri berpikir filsafat adalah menyeluruh atau komprehensif, mendalam, rasional, dan sistematis.  

Cara berpikir komprehensif adalah cara berpikir yang menyeluruh. Misalnya, seorang pembisnis harus mempertimbangkan berbagai aspek bisnis yang akan ia geluti. Seperti kalkulasi untung-rugi, kekuatan-kelemahan dirinya, peluang dan tantangan yang ada.

Cara berpikir mendalam adalah cara berpikir yang mau memahami sesuatu secara detail atau serinci mungkin. Misalnya, seorang pembisnis yang akan mempekerjakan perempuan dalam usahanya. Terlebih dahulu ia akan menanyakan status perempuan itu. Kalau perempuan itu sudah menikah dan memunyai anak, siapa yang akan mengurus anaknya, bagaimana perempuan tersebut akan membagi waktu antara pekerjaan di kantor atau di pabrik dengan pekerjaan di rumahnya. Menanyakan hal-hal tersebut bukan berarti pembisnis itu ingin mendiskreditkan kemampuan perempuan dalam bekerja di luar rumah. Akan tetapi, justru keinginan untuk tidak mengganggu pekerjaan utama perempuan yang akan menjadi karyawannya tersebut. Dengan demikian, pembisnis itu akan mampu memprediksi hal-hal apa yang dibutuhkan oleh karyawati, sehingga ia akan nyaman bekerja di bawah naungan sang pembisnis. Misalnya, kebutuhan akan cuti hamil, kebutuhan pulang sebelum pukul lima, dan sebagainya.  

Cara berpikir sistematis adalah cara berpikir yang runtut, bertahap, di mana seorang pembisnis harus memikirkan secara bertahap supaya bisnisnya berjalan dengan baik. Misalnya, sebelum melaksanakan bisnis, ia harus melakukan riset, perencanaan bisnis, persiapan sumber daya yang ada baik sumber daya manusia, keuangan, bahan baku, dan lainnya.  

Cara berpikir rasional adalah cara berpikir yang masuk akal. Jadi kegiatan bisnis haruslah hal-hal yang dapat menjawab persoalan-persoalan hidup. Misalnya, berkaitan dengan kebutuhan akan makan, minum, perumahan, dan sebagainya. Berbagai kebutuhan tersebut mampu dipenuhi dengan kegiatan-kegiatan bisnis.  

Kemampuan berpikir seperti ini akan menuntun orang agar ia bisa melakukan bisnis secara baik dan benar. Baik adalah hal yang berkaitan dengan bagaimana tujuan-tujuan dari apa yang ia lakukan dapat dicapai. Sedangkan benar adalah bagaimana dalam mencapai tujuan-tujuan yang ia targetkan tidak melanggar aturan-aturan asasi dalam kehidupan. Misalkan masalah kejujuran, keadilan, etika, moral, dan lainnya. Sejatinya inti dari kegiatan bisnis itu adalah ingin menciptakan suatu kebahagiaan dalam hidupnya. 

 Kesimpulan dari pengertian

Setelah mengetahui tentang definisi, tujuan, peran, fungsi dan cara berpikir filsafatis, perlu dipahami juga bahwa filsafat bukanlah segalagalanya dalam hidup. Filsafat tetap merupakan produk manusia dengan olah akalnya. Artinya, selalu ada keterbatasan dalam hasil olah pikirnya. Kalaupun tujuan akhir dari filsafat adalah kebenaran yang sanggup memecahkan permasalahan manusia, namun kebenaran yang dihasilkan adalah kebenaran hasil olah pikir manusia yang sifatnya terbatas juga. Dalam arti, hasil pemikiran suatu manusia di suatu tempat, belum tentu cocok dipakai di tempat lain. 

Misalnya, jika orang-orang Barat dalam melakukan perdagangan internasional meyakini bahwa free trade atau pasar bebas merupakan salah satu upaya ideal untuk mencapai kesejahteraan bersama, belum tentu pemikiran ini dapat diaplikasikan di negara-negara Timur, dengan karakteristik orang yang lebih menekankan kekeluargaan bukan individualistik seperti di Barat. 

Sebagai contoh, ketika Indonesia mengalami krisis keuangan pada tahun 1997, resep-resep IMF (International Monetary Fund) yang diminta bantuan oleh Presiden Soeharto kala itu, malah kian memperburuk kondisi perekonomian Indonesia. Salah satu saran atau resep memperbaiki perekonomian nasional Indonesia saat itu adalah mencabut subsidi-subsidi yang telah diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada rakyatnya, seperti dicabutnya subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) dan TDL (Tarif Dasar Listrik). Pencabutan kedua subsidi ini saja telah membuat rakyat Indonesia jatuh dalam kemiskinan yang tiada tara. Harga barang-barang menjadi sangat mahal. Pabrik-pabrik banyak berhenti beroperasi, karena tingginya biaya produksi yang disebabkan adanya kenaikan TDL dan harga BBM. Akibatnya, banyak perusahaan yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mengakibatkan pengangguran melimpah ruah. Akhirnya, rakyat turun ke jalan, demonstrasi masif dan anarkis tak terelakkan lagi. Di sini terlihat bahwa saran IMF tentang perekonomian bebas, perdagangan bebas, kemandirian rakyat dari subsidi pemerintah yang memang secara teoritis dipandang baik, menjadi tidak baik sama sekali ketika diterapkan dalam sistem perekonomian Indonesia. 

Hal yang paling mendasar dari ketidakmampuan aplikasi ini adalah perbedaan manusia dalam cara berpikir, yang terwujud nantinya dalam cara ia bersikap dan juga dalam cara ia menjalani hidup. Semua itu tidak bisa dipersamakan. Karenanya, dengan kebijaksanaan tersendiri, sebelum IMF memberikan saran-saran bagaimana cara mengatasi permasalahan krisis yang melanda saat itu, alangkah lebih baiknya IMF mendalami terlebih dahulu karakteristik orang Indonesia daripada hanya memeriksa kesalahan-kesalahan yang berlangsung dalam sistem perekonomian yang diaplikasikan di

Indonesia. 

Keterbatasan filsafat yang mengandalkan olah pikir manusia juga dinyatakan oleh Saksena (dalam Anshari, 1987: 107). Ia menyatakan bahwa:

Pengetahuan filsafat tidak menghasilkan keyakinan oleh karena alat filsafat yang digunakan untuk tugas tersebut tidak mencukupi. Satu-satunya alat yang dipergunakan oleh filsafat adalah akal.

Sedangkan akal merupakan hanya satu bagian dari rohani manusia dan tidaklah mungkin tuan mengerti suatu keseluruhan dengan suatu bagian. Tuan akan bertanya kepada saya, “Jika seandainya akal bukan merupakan alat filsafat yang tepat, alat apakah yang mesti dipergunakan? Juga terdapat banyak kesulitan dengan intuisi”. Jawab saya terhadapnya ialah keseluruhan kebenaran bisa diketahui dengan keseluruhan rohani manusia- perasaannya, akalnya, intuisinya, pikirannya, nalurinya, pendeknya seluruh kediriannya.

Oleh karenanya, filsafat hanya memberikan warna dan mengarahkan cara berpikir manusia yang sifatnya sistematis dalam memperoleh kebenaran. Adapun kebenaran itu sendiri sifatnya sangat luas. Dalam hal ini, sangat diperlukan keluasan hati, kelapangan dada dalam menerima setiap hasil olah pikir manusia. Serta, manusia pun dalam melakukan olah pikirnya, harus pula mempertimbangkan segala aspek dari setiap sisi kehidupan manusia. Tidak bisa kaku terhadap hasil pemikiran orang lain. Wisdom atau kebijaksanaan sangat diperlukan pada akhirnya.

0

Post a Comment

Terimakasih telah memberikan komentar