lcRoHgqPZjWs3J6831YqB9z8W93RGUPK8UWFVz3x
Bookmark

Pentinya Sekolah Menengah Atas (SMA)


Di Algemeene Middelbare, setingkat SMA zaman kolonial Belanda dulu, setiap siswa harus membaca minimal 25 buku sastra selama 3 tahun masa Pendidikannya. Hal yang jarang, atau tak mungkin kita dapati pada Pendidikan sekarang ini. Jangankan buku sastra, buku non sastra pun belum tentu terbaca. Generasi sekarang lebih banyak membaca postingan di sosial media. Semoga postingannya bagus-bagus, sehingga input ke fikiran pun juga bagus.

Tapi senyatanya, masa SMA memang masa yang sangat menentukan dalam perkembangan manusia. Masa dimana trial and eror masih menjadi kewajaran tersendiri, masa yang masih bergelora, belum terbebani banyak hal, termasuk terbebani pikiran-pikiran pelik tentang kehidupan. Masa SMA, yang dalam ilmu Psikologi disebut masa adolescence.

Masa ini, menurut Psikolog kawakan G. Stanley Hall, is a time of storm and stress. Masa perubahan signifikan dari fisik, Intelektual dan Emosional. Tiga domain penting yang harus dikontrol dengan baik, bukan justru dibatasi secara total. Perubahan fisik, kaitannya dengan mulai tumbuhnya alat reproduksi, mulai mengenal seksualitas. Masa yang sering disebut ‘romanticly zone’. Salah satu tandanya, ia mulai mengenal cinta secara sadar. Mengerti mana tampan dan cantik. Mengerti tentang tubuh, dan libidonya.

Maka ada kecenderungan untuk memiliki kekasih. Keinginan yang wajar dan normal. Hanya saja jika tidak terkontrol dengan baik, bisa over oriented. Kasus pemerkosaan, hamil diluar nikah, dsj kerap terjadi pada masa ini. Karena selain fisik, ada satu hal lagi yang perlu ruang aktualisasi, yaitu Intelektualitas. Intelektualitas tidak melulu sesuatu yang terlampau akademik. Intelektual, sederhananya adalah sensitifitas untuk bertanya dan tertarik pada aktivitas otak.

Sementara yang ketiga, emosional. Kaitannya dengan interaksi dengan lingkungan, serta leadership. Karena kata Daniel Goleman (pencetus ide kecerdasan emosioal), point ketiga ini paling bisa membentuk karakter seseorang. Emosional dibentuk secara natural, melalui interaksinya dengan sesama teman, guru, dan masyarakat. Bisa juga dibentuk dalam ruang formal seperti ikut organisasi, komunitas, dsj.

Masa SMA, menjadi moment penting untuk belajar itu semua. Karena setelah lulus SMA, ruang itu sangat terbatas. Apalagi yang memutuskan untuk langsung bekerja. Ketika kuliah pun, kesempatan untuk melakukan trial dan eror semakin sedikit. Ketika masih di Jurnalistik dulu, kesalahan dalam membuat Majalah, betapapun besarnya, masih sedikit banyak ditolerir. Tapi setelah Mahasiswa, meski hanya level UKM, kesalahan menjadi catatan serius. Urusannya soal profesionalisme.

Termasuk ketika ada tugas interview, suruh mengisi khotbah dan ceramah, memimpin sebuah tim, dll. Harus siap! Kalau ada alasan tidak siap, maka pertanyaannya, dulu ketika masih sekolah ngapain saja? Ini pertanyaan menohok, dan sekaligus menunjukkan jika masa SMA yang hanya tiga tahun itu (tiga tahun yang terasa lama ketika diruang kelas, namun begitu cepat diluar kelas) menjadi pertaruhan penting.

Maka ketika Mahasiswa, terlihat jelas mana yang pernah ikut organisasi sama yang belum pernah, atau yang ikut tapi sekedar ikut. Jenis organisasinya pun berbeda-beda. Ada organisasi yang berbasis hobi, semisal ekskul olahraga. Ada juga organisasi yang berbasis leadership seperti OSIS dan Pramuka. Ada Organisasi yang kerjanya mengedepankan intelektual seperti Jurnalistik dan KIR.

Organisasi-organisasi tersebut penting sebagai penghubung. Terutama orang-orang seperti saya yang sering enjoy with my self, individualis, nan introvet. Artinya, orang-orang tertentu memang membutuhkan wadah aktualisasi semisal organisasi, karena tidak semua orang memilki karakter yang humble dan mudah bergaul dengan orang lain. Dan masa SMA, adalah waktu yang sangat penting untuk melatih hal tersebut.

Dalam Ilmu Parenting, tiga hal tadi : Fisik, Intelektual, dan Emosional. Sangat dipertimbangkan. Orang tua tidak mungkin membatasi ketiganya, tapi hanya mengajarkan untuk mengontrol. Ada yang membolehkan pacaran, asal ia memiliki aktivitas lain diluar itu, semisal organisasi, biar berimbang. Ada juga yang menyarankan jangan pacaran dulu, namun tidak membatasi ruang interaksinya.

Bagi orang tua yang anaknya individualis, dan cenderung anti sosial, diharapkan ikut organisasi untuk mengurangi sifat individualisnya tersebut. Bagi anak yang secara akademik standart, diharapkan ikut ekskul yang melibatkan intelektualitasnya. Siapa tahu di ekskul tersebut anak menemukan passion intelektualnya. Ingat, penulis gaek Vedda Motinggo Busye, selama sekolah mendapatkan nilah bahasa Indonesia yang standart, namun dia menemukan passion intelektualnya justru dalam bidang bahasa.

Artinya, jangan lewatkan masa SMA begitu saja. Find ur way. Temukan jalanmu. Temukan passionmu. Temukan duniamu. Kalau cerdas diukur dari kemampuan memanjat pohon, maka ikan tak akan pernah masuk kriteria tersebut. Karena ikan bisanya berenang. Itu kata Einstein.

Masa SMA, masa yang penuh kecemasan dan tekanan. Tapi keduanya ibarat mengurai benang yang kusut. Setelah diurai maka akan jelas polanya, dan bisa digunakan untuk merajut.

Sumber : https://www.kompasiana.com/fahrizhal/57934e93a723bd3e187bb0a2/pentingnya-masa-sma?page=2&page_images=1
0

Post a Comment

Terimakasih telah memberikan komentar